Musim gugur
Gugur daun berjatuhan
Tiada lebah berdengung menghisap madu
Dingin menusuk tulang
Tak sedingin salju pertengahan musim gugur
Musim gugur berlalu
Tapi dingin membenalu
Tiada tubuh pantai berlalu
Membelenggu tiap sudut pijakku
Riang hatiku musim gugur berlalu
Salju menggunung di segitiga naungku
Bintang Jatuh
Aku jelmaan bintang jatuh
Jika bersedih aku tak berarti
Jika bahagia sekelilingku gembira
Aku tak bisa kembali ke langit
Disana aku bisa mati terhimpit
Aku jelmaan bintang kejora
Dengan api membara
Dapat kubakar penjuru dunia
Hingga tikuspun tak tersisa
Gangga
Gangga, airmu suci umat hindu
Meski ribuan bertaburan mewarnamu
Bahkan baumu tak sewangi dulu
Ketika tiada percaya itu
Gangga, kau tetap minuman umatmu
Meski kolera, desentri tercampur dalam darahmu
Tapi tak kau tulari mereka
Tak kau jangkiti mereka
Keruh airmu tak sekeruh hati hilirmu
Meski tak mampu dicerna nalar
Gangga tempat suci bagi umatmu
Alamku Kaya
Perjalanan yang melandai
Disambut ribuan kicau burung dalam sangkar
Melirik dan berandai-andai
Kekayaan alam begitu kekar
Ikan warna-warni seperti terbang
Dari jelentik sampai sebesar akar bakau karang
Puas rasa hati meski tak beli
Kadang pula geli melihat ngerat dan ular berkelahi
Manusia makhluk mulia
Tentu tahu cara membudidaya
Agar mereka tetap terjaga
Agar kita masih dapat menikmati nyanyian mereka
Sajak Rumput Liar
Satu anak rumput liar
Bernyanyi di tengah padang rumput
Patah bukan terpaan angin
Roboh bukan hantaman musim
Aku tak berkata ia tiada
Meski gelap kian merata
Penat memikul tempatnya berpijak
Andai bisa kuhempaskan sejenak
Semakin berat
Seberat besi tak berkarat
Dasar rumput liar
Tiada gentar asal tak tercabut akar
Meski tumit menjejalkanku pada mulut bumi
Aku tak kan mati semudah semut api
Bumi itu temanku
Bumi tak kan sanggup menelanku
Tapi aku tak sanggup menjaga bumi
Bumi yang perlahan ditinggal peduli dan sekarat teracuni
Pekerja Burung
Dentang jam kerja burung
Bahkan sebelum itu
Bahasamu termenung
Ketika matahari dapt kau intip dari ketiak
Kau hidupi kehidupan lain selain hidupmu
Ketika matahari membakar ubun
Tak jua kau peduli ribuan panah api
Menghujan menghitamkan darah bahkan putih nanah
Betapa beban
Punggungmu pungguk sapi karapan
Tak dihargai waktu
Namun laut yang menetes dari pelipis matamu
Tertadah wujud yang tak mampu dicerna akal
Dan ketika kau menghadap senja
Sunyi kembali tiupan angin
Sunday, January 24, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment